Alvaro: Tentang Jatuh dan Cinta (Bag.2)



#Short story

#Alvaro

#Picisan


***




Sejak pertemuan yang di-setting sedemikian aneh oleh semesta beberapa waktu lalu. Hatiku semakin mantap menatap Al (panggilan kesayangan buat Alvaro nih). Tapi sepertinya aku tengah diajarkan sebuah teori kehidupan yang teramat penting, bahwa keberuntungan itu tidak datang dua kali. Lain halnya dengan kesialan, datangnya bertubi-tubi dan nggak kenal waktu.

Berbagai upaya untuk mendekati Al pun kulakukan. Dari mulai mencuri-curi absen di kelas sebelah demi mengetahui nama lengkapnya, hingga berkutat mencari akun facebooknya semalaman. Yah, itulah cinta. Asal kalian tahu saja. Tidak perlu tertawa, karena aku kelewat yakin bahwa manusia normal yang sedang baca ini juga pernah melakukan hal yang sama, bahkan lebih gila.

“Arrrhhhg!!!” Aku teriak kegirangan sampai menendang-nendang kasur karena berhasil menemukan akun milik Al setelah penelusuran delapan jam terhitung lepas dari pukul delapan malam tadi. Akunnya tidak menggunakan nama asli, makanya begitu sulit ditemukan di dunia maya. Sejurus kemudian, aku mengklik tombol "Add Friend".

Jam menunjukkan pukul empat pagi, aku menghabiskan sisa dini hari itu dengan melahap habis semua unggahan statusnya, dari yang terbaru hingga yang terlama.

Begitulah hari-hariku selanjutnya, perlahan tapi pasti aku mendekati Al. Meskipun pada akhirnya aku harus jujur, tidak ada satupun usaha kecil itu membuahkan hasil. Nyatanya hari-hari Al berlalu adem ayem saja tanpa gangguan berarti dari makhluk tak kasat mata sepertiku. Sementara aku selalu menanggung rona merah di wajah dan goncangan batin acap kali berpapasan dengannya.

Memperhatikan setiap obrolannya dari jauh, memandangi dia dari bangku seberang saat makan di kantin, atau sekadar menunggu dia di lapangan voli menjadi rutinitas harianku di sela-sela aktivitas sekolah yang semakin padat.

Satu semester berlalu, aku bahkan belum pernah mengobrol face to face dengan Al. Jangankan bercakap berdua, bergabung bersama dia dan teman-temannya saja belum pernah. Akhirnya, teman-temanku memberi label super gila untukku; Secret Admirer Ngenes. 

Alvaro adalah lelaki yang enteng sekali bergaul dengan semua jenis makhluk hidup. Dia suka humor, senang tertawa, pandai bergitar dan bernyanyi. Tidak heran, dia begitu mudah memasuki dunia setiap orang. Tapi hal itu tidak serta merta membuat aku dengan mudahnya mendekati dia. Entah mengapa, gengsi dalam diriku seperti tidak rela saja  membiarkan aku melakukan pendekatan terhadap Al.


Sampai kenaikan kelas tiga, keadaan belum berubah. Al tetap belum mengenal aku, sementara aku sudah mengabiskan sebuku diary tebal sekadar untuk menuliskan namanya.

“Zinnia itu yang mana? Kok aku nggak pernah tahu?!” Celetuk Al dengan entengnya saat pembagian rapor.

Seperti biasa, hari itu semua siswa berkumpul di lapangan untuk menerima beberapa informasi terkait libur panjang akhir semester. Yang tak kalah ditunggu-tunggu juga pengumuman nama-nama siswa peraih juara umum per angkatan.

Aku yang tengah melangkah ceria mendengar namaku dipanggil pun mendadak lemas mendengar celetukan tak berdosa dari mulut Al.

Demi sepiring bakso yang dikasih lima puluh sendok cabe, kupingku panas seketika mendengarnya. Ingin sekali rasanya aku mendatangi Al, lalu dengan suara lantang berkata; Ini yang namanya Zinnia. Iya, ini! Makhluk asing dari Pluto yang ngungsi ke Bumi lalu dengan pintarnya jatuh cinta sama kamu. Lalu aku bakal ketawa; Haha, lucu ya, Al. Tapi sepertinya aku perlu bertapa seribu tahun untuk mengumpulkan keberanian secara cuma-cuma, ditambah ramuan tradisional penghilang ingatan buat diminum setelahnya. Tapi aku cuma bisa berpikir positif nan tragis; Ada namaku terselip dalam kalimat yang terlontar dari bibirnya tadi. Sesuatu yang nggak lebih berharga dari upil kerbau bagi orang lain, tapi begitu berharga bagiku, sampai-sampai aku hampir meneteskan air mata. Al menyebut namaku.

Ungkapanku di tulisan sebelumnya seolah berlaku kembali saat kenaikan kelas. Hari pertama di semester baru, jam setengah tujuh pagi aku menginjakkan kaki di halaman sekolah. Tapi sepertinya banyak yang lebih semangat hari ini, sekolah sudah ramai saja. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ajaran baru artinya mendapat kelas baru, teman baru, hari baru, tas baru, dan sepatu baru, serta pacar……. Baru?! (Oke, tolong abaikan!).

“Eh Jin, kita satu kelas lagi loh. Seneng deh!” Nia memelukku begitu erat.

“Jin.. Jin.. Seenak dengkul manggil namaku!” Celetukku. Sebenarnya aku berdoa agar tidak sekelas dengan Nia. Aku nggak tahan harus selalu menerima godaan-godaannya yang menjurus pada ejekan pasal ‘hubunganku' dengan Al yang tak kunjung bergerak maju barang sedikitpun. Perasaan cinta doang yang maju, usaha buat dekatin nggak ada maju-majunya, begitu kira-kira inti dari setiap ejekan yang dilontarkannya.

“Kamu duduk sama aku, mau yaa.” Katanya.

Aku mengangguk dengan malas, lalu ngeloyor ke papan berisi daftar nama di mading setelah suasana agak sepi. Jari telunjukku merayapi semua nama yang tertera di kelas Sembilan D. Totalnya ada dua belas kelas baru untuk kelas Sembilan di tahun ajaran ini, satu kelas hanya diisi dua puluh lima siswa saja. Tidak sulit menemukan namaku  karena absennya diurutkan berdasarkan abjad.

Usai mendapatkan yang dicari, mataku mengular pada deretan nama lain di atas namaku. Yoga, Vivin, Tezar, Tio, Tamiya, Putri, Putri lagi, Putri lagi, Nando, Nanda, dan seterusnya. Semua nama kubaca satu persatu seraya mengingat wajah pemilik setiap nama, kelakukannya serta tak lupa tingkat prestasinya. Hampir saja aku mabuk membaca setiap nama yang notebane akan menjadi teman sekalasku hingga tiba-tiba moodku mendadak meningkat drastis. Aku terbelalak saat mendapati nama Alvaro ikut andil mengisi daftar nama di kelas tersebut.

“Nyaakk! Kita sekelas sama Al.” Histerisku dengan nada yang berusaha ditahan hingga terdengar seperti suara citcit tikus terjepit.

“Ah, masa?!” Kali ini giliran Nia yang terbelalak. Kutunjukkan nama di daftar nomor dua padanya. “Wih, menang banyak dong kamu!” Lanjutnya.

Aku nggak bisa menahan senyum saking senangnya. Untuk sesaat aku merasa drama-drama cinta di tv yang biasa emakku tonton itu teryata tak mustahil untuk terealisasi di kenyataan.

“Lihat entar, kamu nggak bakal bisa menghinaku lagi. Aku bakal dekatin itu cowok.” Kataku dengan pedenya. Tapi Nia sudah terlanjur tahu kenyataan bahwa aku bukanlah makhluk pemberani.

“Ah, gayanya selegit, eh selangit.” Ejeknya.

Tapi seperti yang kubilang, untuk sesaat aku merasa drama-drama cinta di tv yang biasa emakku tonton itu teryata tak mustahil untuk terealisasi di kenyataan. Garis bawahi kata  ‘untuk sesaat’, sebab kebahagiaan itu tidak berjalan mulus bahkan di hari pertama saja sudah kandas duluan.

Untuk selanjutnya aku merasa drama-drama cinta di tv yang biasa emakku tonton itu teryata benar-benar mustahil untuk terealisasi di kenyataan. Sungguh.

Aku lupa cerita soal status kesiswaan Alvaro di tulisan sebelumnya. Alvaro yang berstatus siswa baru di tahun sebelumnya lebih memilih masuk ke kelas sebelah ketimbang jadi bagian dari kelasku. Usut punya usut, ternyata kelas sebelah isinya adalah teman-teman akrabnya. Hal ini bertolak belakang dengan pemikiranku bahwa dia adalah lelaki yang pandai bergaul dengan siapa saja, aku pikir terlalu naif jika dia mendalihkan teman di kelas barunya sebagai alasan sehingga enggan bergabung. Tapi setelahnya aku baru sadar bahwa ‘teman’ yang dimaksudnya di kelas sebelah adalah ‘teman’ dalam pengertian dan makna sesungguhnya. Alvaro terlihat begitu menikmati hari-harinya bersama mereka di kelas tersebut.

Seolah suhu Venus mendadak jadi sedingin salju, begitulah perasaanku. Dingin. Beku seketika. Akhirnya aku masih harus menatapnya dari jauh, menguping dari seberang, dan menunggunya lewat di depan kelas. Padahal aku sudah terlanjur berkhayal melihat dia lewat belakang punggungnya, memperhatikan dia saat maju ke depan kelas, ikut tertawa mendengar leluconya, makan di kantin bersama-sama, bahkan mengobrol berdua. Tapi apalah artinya sebuah khayalan saat kenyataan sudah jelas-jelas mengkhianatinya. Lagi-lagi kami hanya berstatus sebagai 'siswa di kelas yang bersebelahan', bukan 'teman sekelas', 'teman' pun bukan. Iya. Masih sama seperti setahun lalu. Herannya, lagi-lagi hanya bersebelahan kelas.

Seperti jatuh tertimpa tangga pula, beberapa saat kemudian aku kembali dihebohkan dengan berita super biasa. Biasa bagi orang lain, luar binasa bagiku. Tajuk berita yang sukses membuat aku galau mendadak itu adalah; Alvaro resmi jadian dengan salah satu siswi cantik di sekolah. Sebut saja namanya Bunga Bangkai.

Al sebenarnya bukan lelaki berparas pangeran seperti di serial Disney,  bukan juga lelaki cool seperti Sasuke, juga bukan lelaki konglomerat seperti di drama-drama tv, aku jujur mengakuinya. Bahasa kerennya; Apalah Alvaro itu, cuma remahan-remahan rengginang dalam toples di atas meja, tapi tidak tahu mengapa dia justru begitu dilirik orang. Al punya sesuatu yang akhir-akhir ini lebih dilirik wanita dibanding ketampanan paras. Humor. Al adalah lelaki yang penuh humor, dan itu cukup untuk membuat seorang (baca: banyak) wanita jatuh hati padanya. 

Sementara aku; Apalah aku ini, hanya debu-debu jalanan yang terpontang panting dipermainkan angin.

Posting Komentar

0 Komentar