Secangkir Moccacino untuk Nona Manis

Ilustrasi: pixabay.com/Free-Photos
Senja telah hilang sepenuhnya, saat kusadari tingkah John seperti tidak tenang. Sambil meracik Latte, matanya sibuk bolak-balik memandang pintu Coffee Shop yang sengaja ditutup untuk menahan sapuan angin malam. Wajahnya yang gusar menyiratkan sebuah harapan yang sesekali dia tenggelamkan bersama malam. Aku tahu apa yang dia tunggu, karena aku juga diam-diam menunggu Nona Manis kembali kemari.

Biar aku ceritakan perihal 'hal' yang membuat lelaki ini jadi galau. Mari kita sedikit mundur pada Senja temaram sore kemarin.

Nona manis, begitu aku menyapanya. Pertama kali kulihat dia dari kaca lemari saat tangan gemulai berkulit putih itu menggeser pintu dengan cekatan. John, barista handal di Coffee Shop ini sejurus tak berkedip dari Nona Manis. Mata mereka sempat bertemu pandang, sebelum kaki jenjang berbalut sepatu kets putih itu berjalan gemulai menuju kursi pojok dekat jendela kaca.

Tanpa memesan secangkir kopi, Nona Manis menyandarkan dagu pada tangan yang ditegakkan. Rambut hitam bergelombang jatuh dengan anggun menutup sebagian wajahnya, sesekali disibaknya ke belakang telinga jika telah mengganggu pandang.

Matanya asyik menelusuri langit yang beranjak merah, sambil sesekali melirik ponsel yang dia letakkan di atas meja. Bibir ranumnya datar, namun tak mengurangi sedikitpun keelokan di setiap lekuk wajahnya. Gadis itu sedang tak bahagia, dan aku yakin John punya cara untuk mengatasinya.

Sejenak kulihat John menarik napas dalam-dalam, membuatnya terpejam cukup lama. Entahlah, aku hanya dianugerahi sebelah telinga untuk mendengar, tak punya hidung untuk mencium seperti John.

"Aroma cokelat, Muggie." Celetuknya saat membuka mata. "Aku tahu apa yang bisa kulakukan!"

John belum pernah menggunakan aku sebagai wadah kopi. Aku adalah mug spesial, hadiah yang diberikan ibunya sebagai ucapan selamat atas dibukanya Coffee Shop ini. Sejak itu aku meringkuk di balik lemari, menyaksikan tangan cekatan John setiap kali meracik kopi.

Kulihat senyum merekah di wajah John. Lelaki itu mengeluarkan aku dari lemari, tangannya terampil bergulat dengan kopi dan cokelat di atas meja, meracik secangkir Moccacino yang tampak manggiurkan.

Alih-alih memanggil waiter, John mengambil nampan dan bergegas menghampiri Nona Manis.

Nona manis sedang berdiri saat John dan aku tiba. John buru-buru meletakkan aku di atas meja.

"Secangkir Moccacino, maaf sedikit terlambat." Sura berat John terdengar.

Sang gadis menoleh, menatap aku sekejap lalu beralih pada John. "Maaf, sepertinya Anda salah meja. Aku belum memesan apapun." 

Nada suaranya begitu lembut, bibirnya tak banyak bergerak saat bicara. Kulihat John terpaku sekian detik, sebelum buru-buru menjawab dengan gugup.

"Um, kupikir kau butuh secangkir kopi sebagai teman menikmati senja." John berujar. "Maksudku, aku tak bisa melihat pengunjung yang datang tanpa minum kopi."

Nona Manis beranjak duduk ke kursi. "Jadi," katanya sambil memasang ekspresi mendelik, "apa ini semacam pemaksaan untuk membeli?" 

John terkekeh kecil. "Ini gratis untukmu," ia mengucapkan kalimat itu sambil mengedipkan mata. Ah, itu gestur menggoda!

Sulit dipercaya, Nona Manis menyungging senyum tipis, yang aku yakin telah berhasil memporak-porandakan isi kepala John.

"Terima kasih banyak. Maaf, harusnya dia yang memesan minuman ini. Aku sama sekali tak mengerti kopi." Kulihat Nona Manis menerawang jauh saat menyebut kata 'dia' pada kalimatnya.

"Kau datang ke tempat yang tepat," John menimpali. "Suka coklat?"

Nona Manis mengangguk terkesima, "Dari mana kau tahu?"

"Parfummu." Jawab John. "Kalau begitu kau harus mencoba Moccacino itu,"

Nona Manis menatap padaku di atas meja. Ah, ya. Moccacino rasa cinta dalam mug spesial, dibuat oleh John spesial untuk Nona Manis.

Ia mengucap terima kasih sekali lagi sebelum John beranjak pergi.

Tinggal aku dan Nona Manis. Saling berhadapan. 

Jemari lentiknya perlahan menjangkau diriku. Ragu-ragu disesapnya aroma khas Moccacino. Seutas senyum tersungging di bibirnya. Aih, Nona Manis tampak begitu manis saat tersenyum, mengalahkan manisnya tampilan whipped cream di atas kepalaku.

Dia mulai menyukai aroma Moccacino, aku tak heran pada akhirnya Nona Manis mulai menyeruputnya perlahan. Aku tak lepas  dari jemarinya. Sambil menikmati Moccacino yang tingal setengah, matanya terus melalar pada senja yang kian buram.

Sementara John memperhatikan dibalik meja kerja. Tak lama, seorang lelaki berkemeja biru laut muncul dari balik pintu. Awalnya aku tak begitu peduli. Sebelum kudapati langkah besar sang lelaki semakin mendekat ke meja kami.

Tanpa permisi, lelaki itu menarik kursi, duduk di hadapan Nona Manis. Aku yang masih di genggaman jemari Nona Manis dapat melihat jelas perubahan ekspresinya. Senyum yang baru bangkit di bibirnya mendadak lenyap. Nona Manis memasang ekspresi kesal.

Setengah jam berlalu, Nona Manis dan lelaki itu masih berbincang. Sementara John tampak galau di balik meja. Wah, John! Seandainya kau mendengar apa yang tengah mereka perdebatkan.

Begini, berdasarkan gelombang suara yang masuk ke sebelah telingaku, kuketahui sang lelaki adalah tunangannya; mungkin sebelumnya, sebab baru saja sang lelaki mengakhiri hubungan mereka.

Kulihat Nona Manis tampak sedih, namun ia menjaga sikap agar air matanya tidak tumpah. Aku yang masih meringkuk di genggamanya bisa merasakan jemarinya bergetar manahan sakit di dada. Bersuara pelan, Nona Manis menuntut penjelasan. Si lelaki meremas sebelah tangan Nona Manis sambil berucap maaf.

Lelaki itu menarik napas berat seraya berkata bahwa dia jatuh cinta pada gadis lain; Laura namanya. Aku langsung membayangkan sesosok perempuan secantik Nona Manis, atau bahkan lebih cantik?! Bagaimana mungkin lelaki ini begitu tega menyakiti hati Nona Manis!

Diam-diam hatiku membara. Kuharap si lelaki mendapat sebuah tamparan, atau sisa Moccacino ini harus mendarat di wajah sok tampannya karena telah berani menyakiti hati Nona Manis.

Detik selanjutnya, itulah yang terjadi. Nona Manis bangkit dengan aku yang masih berada di genggamannya. Kulihat lelaki itu melongo dengan sisa Whipped Cream di wajahnya.

Nona Manis beranjak pergi dengan air mata yang mulai menetes. Pada John yang ikutan melongo, aku dikembalikanya.

"Kembalilah kapan-kapan," Kata John. 

Nona Manis menyeka air matanya. "Tentu,  jika kau tak keberatan menyajikan Moccacino setelah melihat apa yang kulakukan dengan sisa minumanku." 

John tersenyum, "Tadi itu aksi yang keren." 

Nona manis memaksa sebuah senyum sambil berterima kasih sekali lagi, lalu bergegas pergi.

Tubuh gemulainya menghilang dibalik pintu. Aku dan John sama-sama terpaku. Ada perasaan kehilangan saat Nona Manis spesial itu tak terlihat lagi.

"Tak apa, Muggie, Nona Manis pasti kembali." Kudengar John berujar.

Ya, aku dan John sama-sama berharap. Kunjungan singkat Nona Manis hari itu hanya sepanjang waktu senja. Dia pergi saat senja tenggelam. Tapi aku dan John sama-sama percaya bahwa masih ada senja di esok sore. Diam-diam kami berharap Nona Manis kembali.


》》Tulisan pertama kali dipublikasi di Plukme.com
》》Diterbitkan ulang, dengan modifikasi


Posting Komentar

0 Komentar