CERMIN | Kisah si Anjing Kuning

 
Pagi datang lagi. Malam dan sang rembulan telah jadi kenangan. Sedangkan senja masih misteri, tersembunyi di balik cakrawala nun jauh di seberang samudra. Ah, matahari pagi. Aku tak pernah menolak kehangatan yang ditawarkannya.

Hari ini aku terbangun saat sapuan angin barat mengusik rambutku. Rasanya asin dan sedikit dingin. Angin bulan April memang selalu menyebalkan. Seolah aku kambing pemalas yang sulit dibangunkan, makin ganas dia menggelitik rambutku. Kudengar suara gesekan tak beraturan di atas kepala. Beberapa rambut cokelat berjatuhan. 

Pak Ucup juga kerap risih mendapati beberapa helai rambut putih di kepalanya. Tata, sang cucu sering membantunya mencabuti rambut putih itu setiap sore di bangku kayu di bawahku. Rambut putih itu sama dengan rambut cokelatku. Sama-sama membuat kami tampak tua. Angin yang menyebalkan ini seperti Tata. Oh, terimakasih telah membantu merontokkan uban di kepalaku!

Kuamati helai demi helai uban yang gugur. Beberapa berhasil jatuh di atas tumpukan dedaunan lama, beberapa terbawa angin dan mendarat di aspal yang berlobang, beberapa tersangkut di pagar bambu, dan sehelai jatuh menimpa hidung seekor anjing kuning.

Makhluk kuning yang meringkuk dengan mata terpejam itu mendengus, ia menggaruk ujung hidungnya sebentar, lalu membalik tubuhnya menghadap ke kanan, meringkuk lagi, dan tak bergerak lagi. Dasar anjing pemalas, aku harap ubanku lebih banyak menimpuk tubuh kuningnya agar dia segera bangun.

Benar saja, tak lama setelahnya beberapa helai uban kembali menghujamnya. Tapi yang dilakukan anjing itu tetap sama; meneruskan tidurnya.

Pagi ini sepi. Pipit nakal yang suka menginjak kepalaku tak tampak sejak kemarin, pun begitu pak Ucup. Sedangkan Tata pergi ke sekolah dengan seragam merah putih. Tak ada siapapun, kecuali anjing pemalas yang tengah mendengkur. Tak dapat diajak bicara sama sekali. Dan aku mulai bosan.

Sejenak aku berpikir tentang sesuatu yang dapat membangunkan anjing ini. Sebelum akhirnya sebuah mobil hitam kecil melintas dengan kecepatan tinggi. Entah apa yang menarik, tapi si anjing sejurus bangkit dan mengejar mobil itu. Tak lama, kudapati dia kembali ke bawahku.

"Apa yang menarik dari mobil itu sehingga kau mengejarnya?" Aku memulai obrolan.

Anjing kuning itu menampakkan wajah kusut, “Tak ada yang menarik," jawabnya datar .

“Oh.” Aku bergumam, “Tapi kau mengejarnya seolah-olah dia begitu berharga untuk dibiarkan pergi begitu saja.”

“Awalnya kupikir begitu, tapi aku salah.” Anjing kuning menjawab.

"Lantas, apa yang membuatmu kembali ke sini?”

“Kau pohon apel yang banyak tanya,” hardiknya. Tapi tak lama kudengar dia berujar, “Aku sedang menunggu.”

Sebagai pohon apel, di sela kesibukanku memproduksi apel ranum yang manis, aku senang bercengrama dengan setiap benda yang kutemui, dan aku senang bertanya. 

“Menunggu siapa?” tanyaku pada akhirnya.

Anjing kuning diam cukup lama sebelum menjawab, “Tuanku.”

“Tuanmu?”

“Dia yang memberiku rumah, merawatku, senang bermain bersamaku, lalu pada akhirnya pergi meninggalkanku."

“Memangnya, dia pergi ke mana?”

“Seminggu yang lalu, sebuah mobil putih besar membawanya pergi meninggalkan rumah kami yang dilahap api," katanya lirih.

Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Ah, sayang aku tak memiliki apel untuk kubagi padanya. Kisah anjing kuning yang ditinggal Tuannya begitu pahit. Mungkin sebongkah apel ranum yang manis bisa memperbaiki rasanya.

“Tuanmu pasti kembali." Aku berusaha menenangkan. “Seperti halnya Pak Ucup yang selalu kembali usai pergi menjual apel ke kota.”

"Tidak!" Ia menggeleng pelan. Kulihat wajahnya berubah murung. "Dia tak akan kembali lagi."

"Lalu, mengapa kau masih menunggunya?" tanyaku tak mengerti.

"Aku selalu meyakinkan diri akan kepulangannya, supaya tak kehabisan alasan untuk terus menunggu."

"Tapi ... itu membuatmu terlihat konyol. Mengapa tak mencari rumah baru?"

"Kau tahu?" ujarnya. "Pada akhirnya tak akan ada rumah sebaik rumah di mana kau dibesarkan."

Oh, anjing yang setia. Anjing kuning pemalas yang manis. Tiba-tiba sesuatu terasa menohok hatiku. Semacam perasaan tak enak setelah mendengar ceritanya. Aku mulai memikirkan pak Ucup dan Tata.

Cerita perpisahan harusnya tak membuatku begitu sedih. Sebagai pohon apel yang tak punya kaki untuk berlajan, aku hanya akan menetap di tempat kelahiranku. Mereka yang mendatangiku, lalu pergi meninggalkanku silih berganti. Aku terbiasa dengan perpisahan, bahkan untuk berpisah dengan buahku sendiri. Tapi kisah ini berbeda, bagaimana jika mereka yang kau anggap keluarga pergi meninggalkanmu?

"Aku jadi takut pak Ucup dan Tata meninggalkanku." Aku tiba-tiba berujar tanpa sadar.

Anjing kuning mendongak, menatapku lekat-lekat. Dieluasnya tubuhku dengan kaki kanannya. "Pada akhirnya semua akan berpisah, pohon apel," katanya menjelaskan. "Semua akan berakhir pada waktunya. Entah kau atau dia yang akan meninggalkan."

Dan dia benar. Baru kali ini aku merasa takut kehilangan. Tata yang berangkat sekolah, akankah ia pulang? Pak Ucup yang pamit mengunjungi kerabat, akankah ia ingat untuk membersihkan bekas ubanku yang tercecer di pekarangan?

"Tapi ..., tapi aku menjadi takut," kataku. "Jika mereka pergi, aku akan menjadi pohon apel tak bertuan. Hatiku bakal roboh, hari-hariku tak akan indah lagi."

"Tak perlu takut, nikmati saja waktu yang masih bergulir. Pada akhirnya, perpisahan tak akan terasa begitu menyakitkan." Dia berkata lembut.

"Begitukah?"

"Jangan bersedih begitu, pohon apel. Nanti buahmu tak terasa manis lagi akibat air mata."

Ah, dia benar! Mengapa aku harus bersedih? Aku yakin mereka tak lupa untuk pulang. Kisah ini tak akan berakhir terlalu pahit, sebab aku punya buah yang manis. Apel ranum yang manis, mereka menyukai apel ranum yang manis. Mereka pasti kembali untuk memetik apel. Semoga saja.

Si anjing kuning berpamitan untuk pergi. Katanya, dia ingin jadi anjing pengelana. Siapa tahu nanti bisa bertemu anjing betina.

"Semoga beruntung," kataku menutup obrolan. Anjing kuning itu menghilang di balik perdu seberang jalan. Hening. Angin sepoi-sepoi kembali menyapu rambutku, menahan segenap resah yang membatin.

Perpisahan tidak begitu manis. Pohon apel tak suka perpisahan.


》》Tulisan pertama kali dipublikasi di Plukme.com
》》Diterbitkan ulang, dengan modifikasi

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Menyentuh banget cerpennya mbak. Terkadang memang begitu, kita terlalu cinta, terlalu sayang kepada seseorang sampai lupa bahwa akan ada masanya dimana kita dan mereka tidak lagi dapat bersama dan tentu saja karenanya perpisahan akan terasa sangat menyakitkan.

    Lebih baik mencinta sekadarnya saja dan tetap sadar bahwa semua ini hanya sementara.

    BalasHapus

Tambahkan Komentar