FICTION | IMAGINE


K ebetulan hari itu hujan lebat. Tak ada siapapun di rumah kecuali kamu. Sepi. Hanya terdengar isak tangismu yang disamarkan suara hujan dan lantunan instrumen dari playlist yang terputar acak.

Saat itu kamu benar-benar dalam keadaan terpuruk, terperosok ke dasar jurang kehidupan. Kamu merasa tengah menapaki titik terendah di hidupmu, tanpa dukungan dari siapapun. Kepalamu disesaki resah, berbagai pertanyaan yang mempertanyakan hidup bergemuruh di kepalamu serupa petir di tengah hujan.

Kamu merasa berada di titik terlemah sehingga tak ada kata, hanya air mata yang menjadi pertanyaan sekaligus jawaban. Kamu terduduk lesu di sudut kamar. Menatap kosong pada sekitar. Kakimu seolah tak lagi mampu berdiri. Jangankan untuk menggenggam mimpi, tanganmumu bahkan tak sanggup lagi menjangkau piring buah yang tergeletak di sudut meja, beberapa meter dari posisimu meringkuk.

Dan untuk keterpurukanmu, kamu tak menemukan jalan pulang--atau sebenarnya, kamu memang tak berniat mencari setitik cahaya. Kamu merasa dipermainkan takdir. Dan kamu ingin menuntaskan takdir. Lantas kamu makin tertunduk, menangis sejadi-jadinya tanpa takut isak tangismu terdengar oleh tetangga. Gemuruh di hatimu tak kunjung berakhir, hujan di luar dan di matamu tak kunjung reda.

Jiwamu mulai beronta. Sekali lagi, takdir mempermainkanmu. Playlist yang terputar sejak tadi tiba-tiba melantunkan instrumen mencekam. Kamu merasa menemukan jiwa dalam melodi gitar yang menyayat kalbu. Kamu ingin bebas, sesegera mungkin. Semakin cepat nada yang terdengar, semakin beronta dirimu. Apapun  seolah mendesak meminta pengakhiran.

"MATI!!"

Lalu kamu semakin menangis, hingga yang terasa di dadamu lebih dari sekadar sesak. Tiba-tiba, tanganmu yang hampir kehilangan fungsi itu mendadak bertenaga. Jangankan menggenggam mimpi, tanganmu kini bahkan sanggup menggenggam kematian.

Kamu bergetar. Napasmu tertahan. Tanganmu menjangkau sebilah pisau di piring buah yang tadi kamu abaikan. Kamu betul-betul siap menjemput kematian. Kamu menarik napas dalam, hingga seluruh badanmu semakin bergetar. 

Nadi. Kamu hanya perlu melukai pergelangan tanganmu untuk tidur nyenyak malam ini. Tak akan sakit. Kamu benar-benar siap untuk mengakhiri segala keresahan yang membelenggumu.

Nadi. Dalam hitungan ketiga.

Satu.

Dua.

Tiga.

Tiba-tiba perutmu melilit. Kamu mules. Kamu mencoba bertahan. Ah tidak! Tak ada yang lebih kamu inginkan selain toliet. Tak akan ada tidur nyenyak jika perutmu mules. Pisau terjatuh dari tanganmu. Kamu berlari ke dapur, menuju toilet untuk mengakhiri keresahanmu. Lalu kamu menyeka air mata. 

Huh, syukurlah kamu masih waras.


*Tulisan pernah diterbitkan di www.plukme.com


Posting Komentar

1 Komentar

Tambahkan Komentar