CERMIN | Makan Siang Danu dan Titok


Makan

Hari semakin terik, matahari tepat berada di titik puncaknya saat Danu memutuskan berteduh sejenak di bawah pohon Beringin rindang tak jauh dari tumpukan sampah yang menggunung.

Dihempasnya karung ke tanah, begitupun alat penggait sampah di tangannya. Topi buluk di kepalanya ikutan dilepas, lalu dialihfungsikan jadi kipas.

"Tok, istirahat dulu ke sini!" teriaknya pada seorang lelaki jangkung yang masih asyik mengacak-acak tumpukan sampah. Begitu semangatnya lelaki itu sampai tak mendengar teriakan Danu.

"Tok, kemarilah. Ayo istirahat!! Mumpung mataharinya lagi tinggi," ulang Danu.

Kali ini yang dipanggil menoleh, langsung berjalan ke arah Danu dan ikut duduk di sampingnya.

"Beeuh, busuk sekali badanmu, Dan!" katanya sambil mengibas-ngibas di depan hidung.

"Lebay! Bau sampah aja tidak kamu pedulikan. Tak usah repot-repot memikirkan bau badanku." Danu merebahkan diri ke tanah dengan tangan menopang kepala. Mata cerah di wajah gosong itu memandang nanar pada dedaunan beringin. Siapa sangka, pohon beringin tua ini menjadi satu-satunya rumah adem di sepanjang tanah gersang di balik hingar bingar perkotaan.

"Dan!" Titok memangil. "Aku lapar," katanya seraya mengelus perut.

Mendengarnya, Danu spontan meneguk liur, baru sadar kalau perut mereka belum diberi jatah sejak kemarin sore.

"Kamu bawa bekal, Tok?" tanyanya.

Titok menggeleng lesu.

"Sama, aku juga tidak bawa."

Keduanya terdiam. Angin siang yang membawa hawa busuk dari tumpukan sampah menyergap hidung. Namun bau sudah tak diperdulikan oleh dua remaja tersebut, yang dirasakan malah sapuan lembut menyegarkan, membuat ngantuk.

Tak lama, mata Titok tiba-tiba membulat, seolah baru teringat sesuatu. Ada raut senang tergambar di wajahnya. "Dan, kan kita bisa makan gratis di warung pak Pian!" serunya.

Danu juga baru tersadar, lelaki itu mengangguk-angguk setuju. "Betul, Tok. Ayo kita segera ke sana!"

Tanpa berlama-lama, keduanya segera menarik langkah seribu menuju warung pak Pian.

"Tok, mau makan apa?" Danu tampak bersemangat.

"Aku mau telur balado, cah kangkung, sambal terasi, semur jengkol, sama es teh segar."

"Kalau aku sih cukup nasi pake lauk ayam bakar sama sup ceker saja. Minumnya es lemon," kata Danu.

"Aku nggak selera makan sup." Titok menanggapi. "Lihat! Makanannya sudah sampe." Sejurus kemudian ia berseru saat melihat jejeran piring di atas meja. Meja luas beralas biru itu tampak penuh oleh makanan.

"Mari makan, aku sudah lapar." Danu menyendok dua centong nasi ke dalam piringnya, menyomot paha ayam bakar, telur balado, semur jengkol, dan cah kangkung."

"Katanya mau makan pake ayam bakar saja." Titok menyela saat mendapati piring Danu dipenuhi lauk.

"Hus, tak usah protes kamu. Makan saja, nanti kuhabiskan semua." Danu menjawab.

Tak mau ketinggalan, Titok ikutan menyendok nasi, menambahkan sup ceker, paha ayam dan telur balado ke dalam piringnya.

"Kamu juga, katanya tidak selera makan sup, tapi dimasukkan juga." Giliran Danu yang mencibir.

"Kan mumpung ada, Dan." Titok nyengir.

"Sudahlah! Mari makan, sudah lapar ini."

Baru saja Titok hendak melahap satu suapan, tiba-tiba matanya terbelalak mendapati sesuatu terjadi pada makanan mereka.

"Loh, loh, kok jadi hitam semua makanan kita?"

Danu yang melihat pun tak kalah terkejutnya. "Ke mana makanan kita ya Tok? Kok jadi hitam gini, kayak mendung."

"Mendung katamu, Dan?"

"Iya mendung, pertanda hujan!"

Keduanya terbelalak. "Hujan?!!"

Titok berlari pontang panting duluan, Danu buru-buru menyusul. Belum sempat mereka kembali ke bawah beringin, rintik-rintik air dari atas langit keduluan mengguyur. Deras dan semakin menjadi-jadi, membuat kaos lusuh mereka terasa lepek.

Sampai di bawah pohon beringin, wajah keduanya kembali ditekuk. Titok mengelus-elus perutnya.

"Padahal belum sempat makan ya, Tok."

"Iya, padahal aku susah payah merubah awan jadi ayam bakar, eh malah muncul mendung. Jadi kehujanan, kan," keluh Titok.

"Lah khayalanmu itu kebanyakan, keburu dilahap mendung deh ayam bakar kita."

Danu memandang nanar pada cakrawala. Hujan turun begitu deras. Langit benar-benar berubah hitam pekat. Ah, hujan memang menyebalkan. Tapi, langit hitam dan air yang jatuh itu baru saja memberinya sebuah imajinasi baru.

"Tok," panggilnya. Melihat Titok menoleh, Danu melanjutkan, "Kita menghayal minum kopi yuk!"


》 Pertama kali dipublikasi di plukme.com
》 Diterbitkan ulang, dengan modifikasi

Posting Komentar

1 Komentar

Tambahkan Komentar