Flash Fiction | Kembalikan Mataku, Mama!

“Malam jum’at kliwon itu malam terbukanya pintu gaib, banyak arwah penasaran berkeliaran. Janganlah duduk di bawah pohon beringin yang dekat kuburan itu, nduk!

Kata-kata ibu masih tergiang menyesakkan kepalaku. Mengapa penyesalan selalu datang terakhir? Tadi kata-kata itu seolah hanya angin lewat, hanya kalimat dari seorang ibu yang enggan ditinggal anaknya pergi bermain di malam hari. Sekarang, kalimat itu seperti pisau yang dihunuskan ke arahku.

Kututup mata rapat-rapat. Ritme napasku sudah tidak beraturan lagi. Aku meringkuk dengan detak jantung yang kian tak berjeda. Perempuan mungil itu masih di sana, berdiri dengan senyum penuh darah. Ujung bibirnya tercabik memanjang hingga ke pipi. Tunggu, apa aku baru saja bilang pipi?! Dia sama sekali tak memiliki pipi. Kulit wajahnya terkoyak menampakkan tengkorak berdarah-darah. Rambutnya tergerai berantakan sebatas pinggang, Sebelah matanya kosong. Tunggu dulu, dimana bola matanya yang satu lagi?!

“Kembalikan mataku, Mama!”

Dia setan! Dia setan! Dia setan!! Jangan bodoh, tutup saja matamu agar mimpi buruk ini segera berakhir.

“Kembalikan mataku, kembalikan mataku, Mama!”

Jangan bodoh!! Dia setan! Teruslah tutup matamu!

“Kembalikan mataku, Mama!!”

Baiklah, aku bodoh! Ini nyata. Harusnya aku berlari sekencang-kencangnya sebelum tangan dingin itu menyentuh bahuku. Menggoncang-goncang tubuhku seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan permen. Berbedanya, dia anak kecil menyeramkan yang merengek-rengek minta dikembalikan matanya.

Kurasakan badanku bergetar hebat oleh tangan itu. Aroma busuk luar biasa dari bangkai hidup berwujud perempuan kecil itu menguasai indra penciumanku. Ingin sekali aku menutup hidung jika aku punya lebih dari dua tangan.

“Kembalikan mataku, Mama!!!”

Nada suaranya terdengar ketus. Aku semakin meringkuk dalam keadaan setengah sadar saat tangannya merayap meraih pergelangan tanganku yang kuletakkan menutupi wajah. Ditarik-tariknya tanganku sambil terus berucap kalimat yang sama. Tangan itu begitu dingin, kurasakan cairan kental merayap dari tangannya menuju tanganku. Apakah itu darah?! Ah, tidak! Aku tidak akan membuka wajahku untuk melihatnya, aku takut dia akan mencongkel mataku.

Sejurus kemudian goncangan di tubuhku mereda. Kusesap napas mencari aroma busuk tadi, sudah hilang. Apa aku sudah bangun dari mimpi buruk?! Apa sekarang sudah pagi?! Perlahan, kurenggangkan jemari untuk mengintip. Tidak kulihat siapa-siapa hingga aku berani menurunkan tanganku dan berdiri. Benar, perempuan itu sudah lenyap!

"Kembalikan mataku, Mama!!!”

Seperti tersambar halilintar, aku terlonjak saking kagetnya. Kuputar badan melihat sesuatu yang aku tahu persis tengah berdiri di belakangku. Mulutku melongo, napasku tercekat, sekujur tubuhku seperti baru saja tersengat listrik. Badanku kembali berguncang hebat. Sosok itu kini hanya berjarak satu meter dariku. Tangannya yang berdarah-darah mengacung padaku. Aku meneguk ludah susah payah, ada pisau dalam genggamannya.

Badannya yang dibalut gaun merah muda selutut juga tak kalah menyeramkan. Perutnya bolong, menampakkan usus-usus yang sebagian terberai keluar. Kakinya dipenuhi goresan-goresan luka sayatan, di lutut kirinya ada bekas luka menganga lebar.

Aku ingin teriak, tapi suaraku hilang. Aku akan berlari saja, tapi kakiku berat sekali. Aku ingin mati saja kalau begitu. Baiklah, bukankah aku sedang menghadapi akhir hidupku? Ah, aku ingin mati wajar, bukan dengan mata tercongkel. Tolong! Tolong! Tolong!

Entah bagaimana caranya, sekejap mayat hidup itu tiba-tiba tinggal berjarak sejengkal dari wajahku. Matanya menatapku tajam. Belatung-belatung besar bersarang di matanya yang bolong itu, beberapa terjatuh ke tanah.

"Kembalikan mataku, Mama!!!” ulangnya.

Sungguh! Apa dia tidak pernah diajarkan untuk melafalkan kalimat selain sepenggal kalimat menyeramkan itu? Maksudku, aku lebih suka jika dia berkata, belikan aku permen, Mama! Aku akan berucap, Ya! Tentu saja, akan kubelikan segunung permen. Tapi dia meminta sesuatu yang tidak wajar dariku. Aku tak habis membayangkan jika dia berhasil mendapatkan mataku lalu membunuhku. Kemudian hidupnya akan tenang karena berhasil mendapatkan apa yang dia mau. Lalu aku akan menggantikan perannya, menjadi arwah gentayangan yang akan mengejar-ngejar orang sambil berkata, kembalikan mataku, perempuan sialan!

Bayanganku seketika lenyap saat kurasakan jemarinya mulai merayap ke pipiku, terus ke atas hingga mencapai kelopak mataku. Diusap-usapnya kelopak mata itu sambil membunyikan senandung-senandung menyeramkan. Sontak, kudorong tubuhnya menjauh hingga ia jatuh terjerembab. Pemandangan itu seketika membuatku semakin terlonjak tatkala kulihat kepala yang menempel di lehernya terlepas saat dia terjatuh. Darah bercucuran dari lehernya, tapi dia masih terseok-seok mencoba kembali bangkit. Diambilnya kepala dengan mata melotot yang tergeletak, dipeluknya kepala itu seraya berlari ke arahku.

Baiklah, perempuan tanpa kepala ini nyatanya jadi lebih menyeramkan.

“Pergi!! Pergi!! Pergilah Setan!!” teriakku sekencang mungkin.

“Kembalikan mataku, Mama!!!!!” Dia melompat menerkamku.

Kami terjatuh, sialnya dia menindihku. Aku menepis-nepis tangannya yang mencoba mengarahkan pisau ke mataku. Seperti dipinjamkan kekuatan seekor kuda, dia jauh lebih kuat dari anak seusianya. Tanganku tercabik-cabik kena goresan pisaunya. Aku pasrah. Tangannya mulai menyentuh mata kiriku, mengarahkan pisau belati dengan sangat hati-hati. Hawa dingin malam menyergap pori-poriku, mengiringi kematian yang begitu pedih ini. Kulirik cahaya bulan, aku ingin menikmatinya mungkin untuk terakhir kali dengan bola mata ini. Langit malam dengan purnama tanpa bintang akan menjadi saksi kejadian mengenaskan ini. Selamat tinggal, dunia. Selamat tinggal, semuanya. 

Aku mati! Aku mati!! Kurasakan pisau itu mulai menusuk-nusuk kelopak mataku. Ya, aku akan segera mati. Mengenaskan sekali.

Cut!”

Aku dan perempuan kecil menyeramkan itu menoleh. Riuh tepuk tangan membanjiri telingaku, asalnya dari balik kamera-kamera dan sorotan lampu tiga meter dari tempatku terbaring. Samar-samar telingaku mendengar, “Akting yang bagus, Sumi!”

Ah, aku benar-benar lupa. Malam ini aku tengah melanjutkan syuting adegan horror untuk film terbaruku, Kembalikan Mataku, Mama!


Dipublikasi pertama di plukme.com

Diterbitkan ulang, dengan modifikasi

Posting Komentar

0 Komentar