Rindu yang Tak Terusik

* Catatan 0219
* Ditulis dini hari saat terbangun dari mimpi buruk
* With love


Rindu adalah duka, sekaligus bahagia. Aku ingin bercerita tentang sebuah rindu yang letaknya di sudut hatiku. Tak terjamah kata, tak terusik oleh waktu. Ia tetaplah rindu, dan akan selalu mewujud rindu sepanjang waktu.

Rindu ini begitu spesial sehingga kubiarkan ia hadir tanpa pernah kucoba mengusirnya. Di waktu-waktu sendu, kubiarkan ia menari-nari dalam kepala, seperti kaset usang yang diputar ulang, menampilkan rentetan kenangan di tahun yang telah lalu. Sementara aku menonton dengan khidmat sampai berurai air mata.

Ia bukanlah rindu untuk sosok nun jauh di antahbarantah sana, pun bukan pula rindu untuk teman lama. Ia adalah rindu untuk sosok ayah.

Jadi, bagaimana rindu ini bermula terjadi pada 6 tahun silam. Bagiku, Ramadhan pada tahun 2013 adalah tahun tersedih yang harus dilewati. Peristiwa itu terjadi menjelang minggu-minggu terakhir Ramadhan. Peristiwa yang benar-benar berdampak besar bagi keluarga kecil kami, menguras air mata, dan kukatakan sebagai suatu momen yang tak diinginkan oleh anak manapun.

Ayahku, yang akrab kupanggil 'papa' pada akhirnya harus mengalah dalam usahanya berjuang melawan penyakit liver yang dideritanya. Hari itu hari minggu, tanggal 4 Agustus. Aku masih ingat sekali, lepas adzan subuh, saat embun masih bergantungan di dedaunan mawar dan pucuk-pucuk rerumputan, sebuah mobil ambulan berhenti di depan rumah. 

Petugasnya menurunkan seseorang dari belakang. Ibu menangis, memelukku. Lalu berbondong-bondong orang menyesakki rumah kami. Banyak tangis yang pecah, doa dipanjatkan di setiap sudut rumah. Keluarga jauh semua berkumpul, menangisi kepergian sambil membicarakan kenangan-kenangan masa lalu yang begitu sedap didengar. Aku diam, menggigiti bibir untuk menghentikan tangisan. Namun setiap ada yang menangis--entah siapapun itu--sialnya aku malah ikutan menangis lagi. Tak lama, keranda digotong pergi. Sejak saat itu rumah terkadang menjadi begitu kosong.

Waktu yang berlalu, sayangnya tak memudarkan kenangan. Ingatan pada sosok lelaki lembut pekerja keras itu, meski terkadang kabur, namun tetap sering menyesaki kepalaku. Tak jarang membuat aku sesenggukan, menangisi rindu yang kian membuncah.

Sejujurnya, aku mulai lupa pada bentuk wajah beliau. Entah sudah berapa banyak kerutan di wajah itu, entah sekurus apa tubuh itu dulunya. Tapi, yang jelas aku masih ingat persis senyum tulusnya. Senyum yang dulu menenangkan aku sewaktu menangis. Senyum itu dulu kuartikan sebagai bahagianya, marahnya, kecewanya, bahkan sedihnya. Beliau suka tersenyum. Senyum itulah yang dibawanya tatkala menutup mata untuk terakhir kalinya. Senyum itu yang kulihat terakhir kali saat tubuh tak berdaya itu pasrah terbungkus kain putih.

Kalau boleh kukata, sudah menjadi keinginan setiap anak perempuan untuk tumbuh dewasa didampingi oleh sosok ayah. Bagi anak perempuan, ayahlah cinta pertama. Beliau seperti ujung tombak, yang melindungi, membimbing dengan ketegasan, agar anaknya tak salah langkah. 

Beliau-lah lelaki yang mencintai dengan tulus, hingga suatu hari seorang lelaki akan datang dan meninta izin membawa pergi putri kesayangannya. Aku ingin dia duduk sebagai seorang wali di hari pernikahan, mengantar putrinya untuk dijaga oleh lelaki lain. Apakah seorang ayah akan bersedih? Setelah sekian tahun dia menjaga putrinya, maukah ia serahkan begitu saja pada lelaki baru yang datang ke rumah itu? Begitulah ayah. Dia adalah cinta sejati. Meskipun aku bukan yang beruntung untuk sampai pada momen itu. 

Ah, lupakan yang itu. Aku hanya mau bercerita soal rindu. Sejujurnya, aku begitu rindu pada beliau ketika menuliskan semua ini. Kalau kau bisa melihat, untuk kesekian kalinya aku menangis di depan layar gawai, di hadapan tulisanku.

Jadi begitulah mulanya rindu itu tercipta. Rindu yang tak akan sampai kepada beliau, kecuali lewat doa. Rindu yang kubiarkan tak terjamah di ujung relung hati. Biarlah ia mewujud rindu hingga kapanpun, sebagai penanda bahwa aku sedetikpun tak pernah melupakannya. Rindu yang tak terusik ini, biarlah selamanya begitu, agar setiap saat aku tak lupa mengantar baris-baris doa untuknya dalam lima waktuku~

Posting Komentar

5 Komentar

  1. Ya, rasanya rindu itu hanya bisa tersimpan di sudut hati. Rindu yang tak terperi pada sosok yang namanya seakan abadi. Namun dia yang telah pergi butuh doa sebagai penyambung rindu.Semoga papa tenang di alam barunya, kita yang telah menangisi kepergian dan kehilangan pada hakikatnya harus sadar bahwa yang usai bukan berarti usai benar. Ada momen berharga dalam hidup kita. papa telah menjadi bagian dari diri kita agar mengada di dunia. Doakan papa dan semoga tabah

    BalasHapus
  2. Memang sakit kehilangan orang yang paling dicintai mba, kok sama yah di tahun 2013 jg tahun tersedih yg pernah kulaui, bedanya saat itu saya kehilangan nenek

    BalasHapus
  3. Seorang Ayah adalah lelaki terhebat yang pernah aku miliki dalam hidupku

    BalasHapus
  4. Ku kirimkan doa terbaik untuk ayahnya ya mba :)

    BalasHapus
  5. Pasti rindu banget. Rindu yang mendera dan tak kunjung reda. Doa terbaik untuk ayahanda ya mba.

    BalasHapus

Tambahkan Komentar